.
Bab 63 Apa Kau Menghindariku?
“Kau sudah pulang?” Vivin menyadari keberadaan Finno Normando dan buru-buru keluar dari dapur. “Cepatlah dan cuci
tanganmu! Kukira aku masak terlalu banyak. Habiskan saja. semampumu. Jika kau tidak bisa menghabiskannya, aku akan
menyiapkannya menjadi bento untuk kau bawa ke kantor.”
“Tidak apa-apa,” sahut Finno sembari duduk di kursinya. “Aku bisa menghabiskannya.”
Vivin tidak percaya dengan perkataan Finno, Jumlah makanan yang ada diatas meja bisa jadi. porsi lebih dari empat orang.
Hanya ada mereka berdua dirumah ini.
Itu kemudian membuktikan bahwa Vivin meremehkan kemampuan Finno. Entah kenapa, dia terlihat memiliki selera makan yang
lahap hari itu. Finno semua makanan yang sudah disiapkan Vivin
Vivin heran. Dia sudah sering makan bersama Finno sebelumnya namun ini pertama kalinya dia. meliahatnya makan begitu
banyak seolah dia adalah juara lomba makan.
Esok harinya adalah hari Minggu. Vivin menghabiskan waktunya untuk mencoba beragam resep dan menyiapkan makanan
untuk Finno.
Segera, hari berikutnya adalah Senin, dan Vivin harus pergi bekerja.
Vivin biasanya senang bekerja, namun semenjak Fabian menjadi Kepala Editor, berangkat kerja. rasanya seperti melompat ke
air deras Sungai Nil, kecuali dia tenggelam dalam pekerjaan daripada air.
Segera setelah dia duduk dikursinya, Lely Junarta, editor senior di Majalah Glamour berjalan. kearahnya dengan terburu-buru.
Kepala Editor.”
Vivin menerima dokumen-dokumen itu sambil mengerutkan alisnya. “Hei Lely, aku harus menyiapkan wawancara besok nanti
siang. Kenapa tidak kau berikan ke oranglain saja?”
Sebelum Lely sempat menjawab, suara Sandra tiba-tiba datang entah darimana. “Vivin, ini perasaanku saja atau kau memang
bertingkah lucu akhir-akhir ini? Pfft, jangan bertingkah seolah kami tidak tahu hubunganmu dengan Pak Normando. Kau
berpuara-pura untuk siapa?”
Vivin terlihat bingung dengan amarah tiba-tiba Sandra. Dia mengernyitkan alis pada wanita yang punya posisi setara dengannya
di perusahaan tersebut. “Sandra, maksudmu apa?”
“Huh, maksudku? Kelihatannya seseorang disini tidak mau mengakuinya.” Sandra menyeringai sambil menyipitkan matanya
kearah Vivin. “Kau pikir kami semua buta?”
Vivin ingin membela diri, namun dia sadar teman-temannya tengah memperhatikannya saat matanya tanpa sengaja melirik
keluar ruangan. Mata-mata mereka dipenuhi oleh rasa penasaran dan cemohan.
1/2
Vivin merasa dirinya seolah ditusuk satu juta jarum.
Dia sangat kenal dengan pandangan-pandangan yang ia terima. Mereka mengingatkannya pada pandangan tak bersahabat
dosen-dosen dan teman-teman kelasnya di kampus karena kejadian dua tahun lalu.
Vivin menggigit bibirnya. Dia tidak tahu harus bilang apa. Jadi, dia hanya duduk dan dengan cepat merapikan berkas-berkas
yang ditugaskan padanya. Lalu, dengan perhatian semua orang kepadanya, dia bergegas menuju ruangan Fabian dan
mengetuk pintunya.
Suara lemah Fabian datang dari balik pintu. Vivin mendorong pintu itu dan mulai masuk.
Fabian terlihat agak kaget begitu melihat Vicin. Wanita itu dengan cepat meletakkan dokumen- dokumen yang sudah ia rapikan
ke atas mejanya. “Pak Normando, ini beberapa dokumen yang Anda minta. Jika tidak ada lagi, saya undur diri.”
Segera setelah Vivin selesai bicara, ia langsung berbalik dan berjalan keluar. Namun sebelum dia bisa meraih daun pintu, suara
serak Fabian terdengar dibelakangnya.
“Vivin, diam ditempatmu.”
Vivin menghentikan langkahnya dengan tidak rela. Tanpa berniat menolehkan kepalanya untuk menghadap Fabian, dia bertanya
dengan malas, “Pak Normando, apa ada lagi yang bisa saya bantu sebelum pergi?”
“Kenapa dengan sikapmu?” Suara Fabian berubah dingin. Dia berjalan menuju Vivin dan bertanya padanya, “Apa kau
menghindariku?”
“Iya,” Vivid menjawab lugas.
Entah kenapa, kejujuran Vivin membuat amarah Fabian naik.
Tapi, saat Fabian melihat tidak adanya kekuatan di wajah Vivin, dia melembutkan suaranya karena mengira dia pasti sedang
sibuk merawat ibunya. “Vivin, bagaimana kondisi ibumu?”
Fabian sebenarnya tidak terlalu menyukai ibu Vivin karena tahu kalau wanita itu adalah simpanan seseorang. Namun, dia masih
menghormatinya karena dia adalah ibu Vivin, dan karena dia juga pernah bertemu dengannya beberapa kali selama
mengencani Vivin/ dia hanya bertanya soal ibunya untuk basa-basi.
Pertanyaan Fabian membuat benteng pertahanan Vivin melemah. Matanya terlihat agak ragu, namun dia segera sadar. “Dia
baik. Terimakasih.”
Fabian menyadari ketegangan di wajah Vivin dan terlihat ragu sebelum kembali berkata, “Kudengar kau butuh uang untuk
pengobatan ibumu. Apa kau sudah liat pesan yang kukirim...”
“Pak Normando,” Vivin tidak mau menunggu Fabian menyelesaikan kalimatnya dan langsung menginterupsi. “Jika tidak ada hal
lain, saya akan kembali bekerja.”