Bab 148
Wajah Tasya sangat memerah. “Aku tidak lihat.”
“Menikahlah denganku dan kamu bisa melihatnya kapan pun kamu mau,” kata Elan pada Tasya.
“Aku tak mau lihat itu!” Teriaknya diiringi dengan wajahnya yang semakin memerah. Sebegitu percaya dirikah pria
ini?
Pria itu baru membuka pintu dan pergi setelah mengembangkan senyum penuh arti.
Tasya kini ditinggal sendirian di sofa, dia termangu Pikirannya masih kosong. Bahkan, ketika menutupi wajahnya
yang memerah, dia masih bisa merasakan kehangatan bibir pria itu di bibirnya. Berengsek betul. Bukankah
sebelumnya, pria itu berkata akan menjaga sikap?
Tasya semestinya tidak mempercayai pria itu. Seperunya, sampai kiamat pun, pria itu tak akan menepati janji.
Kini, Tasya melirik kamar putranya. Baguslah putranya tak melihat kejadian tadi.
Ketika terlintas betapa peliknya keadaan untuk menghabiskan malam dengan Elan sepanjang tahun, dia merasa
pening.
Tasya bergegas berangkat kerja setelah mengantar anaknya ke sekolah di keesokan paginya. Rambut ikalnya
Follow on NovᴇlEnglish.nᴇtmemantul–mantul pada pundaknya saat dia terburu–buru melewati kerumunan, Dia mengenakan kemeja bermotif
kotak berwarna abu–abu dan rok hitam model pensil serta tas kecil tersampir di pundaknya. Busana yang
dikenakan tanpa disengaja telah memamerkan profesionalisme dirinya.
Saat itu juga, sebuah mobil sedan berwarna hitam berhenti di pintu masuk kantornya. Elan datang ke situ untuk
mengambil dokumen kembali ke Perusahaan Prapanca. Elen kebetulan melihat Tasya datang dari jalan, melewati
kerumunan pekerja kantoran dengan pancaran rasa percaya diri yang kuat dan mempesona.
Pada saat itulah, Tasya kebetulan sedang melirik arlojinya dan menyadari bahwa hanya tersisa dua menit lagi untuk
memindai kartu pada alat daftar hadir karyawan. Dia langsung panik dan berlari cepat menuju lobi, tanpa
memedulikan dirinya jadi agak berantakan ketika berlari.
Yang tak diketahuinya adalah Elan sedang menyaksikan seluruh gerakannya dari dalam mobil.
Sikap terburu–buru Tasya membuat Elan tersenyuin. Di masa lalu. Elan bahkan tidak tahu bahwa wanita macam
Tasya ada. Tasya tidak terlalu istimewalau pun memikat, tetapi wanita itt punya pesona tenientu yang membuat
dirinya tergila–gila Dia bahkan rela dicap sebagai seorang tukangintip karena menatap wanita ini
Di menit terakhir, Tasya berhasil memindai kartunya ke mesin daftar hadir. Dia tersenyum stat melihat lampu hijau
menyala, merasa berhasil dan sangat puas karena bisa tiba di situ untuk berkerja
Setelah Tanya masuk ke kantornya, Maya membawakan secangkir kopi untuknya. “Ibu akan bertemu seorang klien
hari iniBu Tasya‘ Apa bahan yang perlu disiapkan
Tasya langsung teringat bahwa dia harus bertemu dengan klien hari ini.
Tiba tiba teringat bahwa dia harus bertemu dengan Lia hari ini. Dia menuju lemari arsip untuk mengambil beberapa
dokumen dan meletakkan dokumen–dokumen tersebut di atas meja.
“Bu Tasya ingin saya ikut?” Tanya Maya.
Tasya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. “Tidak perlu. Biar aku pelajari dulu keadaannya. Aku akan
membawamu lain kali.”
Lagi pula, Lia hanya mencoba mempersulit dirinya. Jika dia membawa Maya serta, Maya yang menemaninya hanya
akan dirundung, jadi sebaiknya dia menalian tekanan ini sendiri!
Tasya menelepon Lia sekitar pukul sepuluh pagi. Di ujung telepon, suara Lia bertanya, “Mengapa Anda baru
menghubungi saya sekarang, Ibu Tasya: Efisiensi kerja Anda pasti bisa lebih baik dari ini!”
“Maafkan saya. Saya akan segera datang. Di mana Anda ingin bertemu?”
“Saya akan memberi Anda alamatnya dan Anda bisa datang! Lia sengaja menggerutu dengan tidak sabar.
Tak lama kemudian, Tasya menerima alamat tersebut. Setelah memasukkan alamat lokasi itu ke perangkatnya, dia
Follow on Novᴇl-Onlinᴇ.cᴏmturun untuk memanggil taksi dan berangkat ke tempat tujuan.
Dalam perjalanan ke sana, Tasya tak kuasa untuk melamun sejenak dan memikirkan Elan. Ingatan akan Elan yang
menemani putranya melayang–layang di benaknya. Ketika Tasya mengantar Jodi ke sekolah pagi itu, dia bahkan
bertanya dengan penuh harap, “Apakah Om Elan
akan datang ke tempat kita untuk makan malam malam ini, Mama?”
Untuk menenangkan putranya, Tasya hanya menjawab, “Iya.”
Setelah melihat putranya melompat–lompat dengan senang hati atas jawabannya, dia tahu bahwa dirinya berharap
Elan akan punya waktu untuk datang malam itu.
Tasya menghela napas. Apa yang terjadi padaku akhir–akhir ini? Mengapa semua pikiranku penuh dengan pria ini?
Pada saat ini, sopir taksi mengatakan kepadanya, “Bu, kita sudah sampai.”
Ketika Tasya mengangkat kepalanya untuk memandang ke luar jendela, dia melihat papan penunjuk sebuah kafe
sejuk, setelah itu dia membayar ongkos kepada pengemudi dan turun dari taksi.
Baru setelah memasuki lobi, dia menyadari kafe itu berada di lantai paling atas. Dia memasuki lift dengan pasrah
dan naik sampai ke lantai paling atas. Kafe yang dimaksud adalah jenis kafe yang hanya bisa dinikmati oleh orang–
orang kaya. Bagi orang seperti dia, bisa minum Starbucks di hari–hari biasa sudah dianggap sebagai kemewahan.
Previous Chapter
Next Chapter