Bab 126 Jangan Sampai Terkena Flu
“Ehh... Ketika kami menemukan saputangan tersebut, saya sudah mencoba untuk menghubungi Pak Wijaya, tapi saat ini dia
sedang menghadiri sebuah konferensi desain di luar negeri dan ponselnya telah dinonaktifkan. Sepertinya untuk sekarang kita
belum bisa menghubunginya.”
“Maka pikirkan cara untuk dapat menghubunginya!” Finno membentak. “minta dia datang sekarang juga setelah kamu dapat
menghubunginya!”
“Baik, Pak Normando,” Noah menjawab dengan wajahnya yang memucat.
Finno sudah tidak dapat fokus lagi pada model asuransi yang ada di layar komputernya. Sebagai gantinya, dengan cepat dia
memutar kursi rodanya dan keluar dari ruangannya.
Noah mengikuti dibelakangnya dengan cepat sambil ia mendengar atasannya bertanya, “Apa Vivin sudah pulang ke rumah?”
“Muti baru saja menelepon untuk memberi info kalau Bu Normando sudah sampai di rumah.”
Mendengar hal itu ekspresi tegangnya mengendur. Saat itu, dia tiba-tiba tersadar bahwa ia masih menggenggam saputangan
tadi dan langsung melemparkannya pada Noah dengan pandangan jijik. “Buang benda itu jauh-jauh. Dan juga, cari tahu pabrik
mana yang memproduksi saputangan itu setelah ketemu langsung tutup pabrik tersebut. Aku tidak sudi melihat saputangan
yang sama berada di dunia ini.”
Noah merasa serba salah dan ia bertanya, “Tapi bagaimana dengan Pak Wijaya...”
“Lakukan seperti yang aku perintahkan!” Finno berteriak sebelum Noah mengakhiri kalimatnya.
Vivin sudah terlelap ketika Finno sampai di rumah.
Dia tidak bisa tidur nyenyak semalam karena berbagi ranjang dengan Finno. Oleh karena itu, dia merasa sangat lelah seharian
dan langsung tertidur setelah menyelesaikan makan malam dan mandi.
tidur yang terbuat dari sutra kamisol yang Muti belikan. untuknya. Pundaknya yang halus dan seluruh punggung belakangnya
tersingkap.
Finno tak tahan sampai ia mengerutkan kening karena pemandangan tersebut.
Vivin mempunyai kebiasaan tidur yaitu memeluk selimutnya daripada menutupi seluruh tubuhnya. Seringkali si pria bangun
untuk membetulkan selimutnya di tengah malam, karena takut jangan sampai ia terkena flu.
Kenapa Muti membelikannya gaun tidur seperti itu? Apa dia tidak sadar kalau lebih mudah terkena flu dengan baju seperti itu?
Setelah Finno menutup pintu, dia berdiri dari kursi rodanya dan berjalan ke arah Vivin, seraya
1/3
menutupi tubuh Vivin dengan selimut. Setelah itu, saat dia akan berdiri dari kasur, si wanita berbalik dan menanggalkan seluruh
selimut dari tubuhnya.
Tenggorokan Finno menjadi kering seketika dan lalu menghentikan gerakannya.
Pria itu akhirnya mengerti mengapa Muti secara khusus menyiapkan gaun malam itu untuk
Vivin.
Gaun tidur itu berwarna hitam dengan pola yang sangat indah dipadukan dengan anyaman yang rumit. Gaun itu sangat cocok
dengan kulit Vivin yang terang, yang dapat menambah pesona wanita itu.
Secara kebetulan, gaun tidur itu seperti telah didesain khusus untuk Vivin, yang dengan sempurna menonjolkan lekuk tubuhnya.
Ditambah lagi dengan gaya tidurnya, itu sangat....
Tatapan Finno semakin dalam.
Tiba-tiba, Vivin bangun dan menggosok matanya.
“Finno?” Dia melamun sebentar saat melihat pria itu berdiri di sampingnya, tapi dengan cepat tersadar. “Kamu sudah pulang?”
Saat Vivin pulang, dia langsung berganti dengan gaun tidur. Kelihatannya, tak butuh waktu lama untuknya jatuh terlelap. Selain
tersadar.
Finno belum merespon pertanyaan Vivin. Melainkan, ia sibuk menarik selimut itu dengan cepat untuk menutupi tubuh Vivin.
Dengan begitu pemandangan yang telah mengusik matanya bisa cepat mereda. “Lain kali pakailah baju yang hangat ketika
kamu tidur, supaya kamu tidak terkena. flu.” Pria itu berkata dengan lembut..
Vivin termangu sebentar sebelum akhirnya menyadari bahwa dia memakai gaun tidurnya yang baru dan rona merah di pipinya
muncul karena tersipu malu. “Aku cuma pergi sehari saja dan. saat kembali tenyata Muti sudah mengganti semua baju tidurku
yang lama. Ini adalah satu- satunya yang tersisa.”
Vivin seketika menyesal sudah kembali ke rumahnya kemarin. Tak hanya kesialan. yang dia dapatkan, tapi juga memberikan
Muti kesempatan untuk berulah.
Tentu saja, dia merasa tidak nyaman berada diantara pekerja senior yang puluhan tahun bekerja dengan konglomerat dan
keluarga yang berkuasa itu.
“Ohya, bagaimana dengan lukamu?” Finno tiba-tiba teringat sesuatu dan menarik pergelangan tangannya Vivin. Setelah
mengeluarkannya dari bawah selimut, dia melihat perban yang menutupi lukanya sudah terbongkar. “Kamu belum mengganti
perbannya ya? Vivin Willardi, bisakah kamu berhenti untuk memikirkan orang lain?” Pria itu berkata sambil mengernyitkan
dahinya.
Setelah mendapat teguran dari Finno, Vivin agak bergerak mundur sambil merasakan sedikit ketakutan. “Aku akan segera
menggantinya,” dia menjawab.
2/3
Saat Vivin akan bangun, Finno menahannya. “Biar aku saja yang menggantinya. Tidak mudah melakukannya hanya dengan
tangan kirimu.”
Pria itu lalu pergi dan cepat dan kembali lagi dengan beberapa kapas dan kotak obat, lalu mulai mengganti perban di tangan
Vivin.
Vivin tak tahu lagi sudah berapa kali Finno membantunya untuk mengganti perban sejak di hari pertama dia terluka. Dengan
begitu, kapanpun dia melakukannya, Vivin merasakan pipinya menjadi panas saat nafas hangatnya Fino berhembus mengenai
tangannya.